Tanah yang Tak Pernah Netral

Oleh Yuwanda Efrianti
Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam, UIN Imam Bonjol Padang

Setiap tanah menyimpan rahasia. Tapi tak semua rahasia ingin ditemukan.

Ada kota yang ditulis ulang dengan tinta nostalgia, didekorasi dengan kenangan buatan, dan dijual dalam bentuk paket wisata lengkap dengan potongan sejarah yang sudah dipulas seperti lukisan murah: penuh warna, tapi kehilangan kedalaman.

Di sana, cahaya matahari memantul sempurna di atas rel tua yang tak lagi tahu ke mana seharusnya menuju. Anak-anakberlarian sambil membawa balon, para ibu mengabadikan senyuman di depan lubang hitam yang kini hanya tinggal hiasan.

Namun tanah itu, diam.

Tak membantah, tak menyambut. Ia seperti tubuh yang tahu banyak, tapi memutuskan untuk tidak berbicara. Karena barangkali, jika ia mulai bicara, tak ada satu pun dari kita yang akan sanggup mendengarnya sampai akhir.

Beberapa kota didefinisikan oleh sungainya. Yang lain oleh pasar-pasarnya, masjid tuanya, atau kampung halaman para pahlawan. Tapi kota ini? Ia ditentukan oleh lorong. Lorong yang menelan manusia dengan tenang, dan tak pernah benar-benar memuntahkan mereka kembali ke permukaan.

Sawahlunto. Satu nama yang terdengar ringan di lidah, tapi berat bagi yang pernah digiring ke perut buminya. Sejarah mengatakan bahwa kota ini adalah bukti kemajuan kolonial. Tambangnya efisien, relnya panjang, produksi batubaranya tinggi. Tapi sejarah yang ditulis dengan angka sering kali lupa menyebut nama-nama.

Nama mereka yang dibelenggu bukan karena bersalah, tapi karena dianggap murah. Orang itu tidak datang dengan niat, tapi ia dikirim oleh keputusan yang tidak pernah mereka dengar, dari ruang kekuasaan yang tidak pernah mereka pijak. Manusia itu digiring seperti barang, diberi rantai seperti binatang, lalu dimasukkan ke lorong yang lebih gelap dari keadilan itu sendiri.

Ironisnya, nama-nama itu tidak berakhir di batu nisan, mereka tersebar di udara, mengendap di dinding tambang, dan meresap ke tanah yang kini ditapaki turis dengan sepatu olahraga.

Namun ini bukan kisah tentang masa lalu, ini tentang bagaimana masa lalu tetap hidup, hanya saja berganti baju. Tentang bagaimana luka dikamuflase dengan cat putih, dan duka diubah menjadi dekorasi museum. Sebab, kita manusia modern, lebih suka kisah yang menyenangkan daripada kebenaran yang menyakitkan.

Di brosur wisata, Sawahlunto adalah kota warisan dunia. Tapi warisan macam apa yang dibanggakan, jika yang diwariskan adalah ingatan setengah-setengah? Faktanya, tambang Ombilin yang kini menjadi situs warisan UNESCO, dulunya dibangun dengan tenaga paksa. Sejarah mencatat kehadiran Orang Rantai, para tahanan yang dirantai dan dipaksa bekerja tanpa ampun. Mereka tidak diberi pilihan, hanya perintah, dan tidak ada janji keselamatan. Hanya kemungkinan mati yang lebih besar dari harapan hidup.

Namun yang menarik, kota ini tidak menolak perubahan, ia beradaptasi dengan cepat. Dari situs derita menjadi panggung selfie, dari titik trauma menjadi tempat healing. Bahkan lubang-lubang bekas tambang yang dulu memekikkan napas terakhir, kini ditaburi lampu gantung dan tempat duduk instagramable. Tak sedikit yang bilang ini bentuk pelestarian, tapi benarkah semua pelestarian berakar dari penghormatan?

Saya menyaksikan generasi demi generasi menjadikan tempat ini sebagai tujuan liburan, anak-anak berlarian di atas tanah yang dulu menyimpan jerit. Tak ada yang salah, mungkin. Tapi juga tak ada yang benar-benar tahu apa yang sedang mereka injak.

Ada ironi di sana, mereka yang dulu dipaksa diam, kini menjadi daya tarik wisata. Tubuh mereka tak kembali ke kampung halaman, tapi kisah mereka kembali sebagai konten. Lalu pertanyaannya siapa yang sebenarnya menikmati kota ini? Mereka yang datang berlibur, atau sejarah yang perlahan berhasil melucuti pakaian indahnya, lalu menatap kita dalam diam?

Mungkin kota ini memang tak pernah ditakdirkan untuk menjadi netral. Karena sejak awal, ia berdiri di atas pilihan siapa yang bekerja, dan siapa yang mengambil hasilnya. Siapa yang terkubur, dan siapa yang kemudian menjual kisah itu dalam bentuk paket tour.

Kota ini bukan korban, tapi juga bukan pemenang, ia adalah panggung. Dan kita, masing-masing, sedang memutuskan jadi penonton, pemeran, atau justru pelupa yang menikmati kisah tanpa pernah bertanya pada sumbernya.

Sawahlunto bukan hanya tentang apa yang pernah terjadi, tapi tentang apa yang sedang terjadi hari ini, cara kita memperlakukan masa lalu, menentukan bentuk masa depan dan bila tanah bisa bicara, mungkin ia tidak akan berteriak. Ia hanya akan berkata pelan cukup pelan hingga hanya mereka yang benar-benar mau mendengar, akan mengerti:

“Aku tidak pernah menolak siapa pun. Tapi kalianlah yang memutuskan untuk melupakan siapa yang pernah kuterima.”

Author

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *